Sabtu, 23 November 2019

Cerita Kecil anak ke Dua : "kenapa kamu memilih jurusan itu?"

Seperti biasa, akhir pekan aku pulang ke rumah orang tuaku dijemput travel langganannya ibu.
Jumat sore kemarin cukup membahagiakanku, karena salah satu tugas terberat kampus hampir selesai, tinggal presentasi saja menurutku. Aku pulang kali ini memohon restu orang tuaku untuk presentasi dan meminta doa agar presentasi kali ini dilancarkan.

Aku satu mobil dengan doen salah satu universitas tetangga. Dia bertanya, "kenapa kamu memilih jurusan itu?"

Aku hanya bisa tertawa. Tak ada jawaban yang dapat aku jawab.
Sepert halnya, kau mengidam-idamkan sesuatu dan setelah mendapatkannya ternyata hal tersebut di luar dugaanmu.
Begitulah aku sekarang. Menempuh sesuatu yang sudah menjadi pilihanku.
Antara menyesal dan bersyukur.
Tapi tak apa, jika ini bukan takdirku, mungkin sepandai-pandainya aku menjawab ujian tes kala itu, aku pasti tidak akan lulus.
Yah aku percaya ini takdirku.

Mengenang ke masa awal tahun 2012, masa pemilihan jurusan universitas.
Aku dihadapkan dengan egoku.
Dipikir kembali, aku sangat egois kala itu.
Ak ingin keluar kota tapi dilarang.
"terserah apapun pilihanmu, asal dirimu kuliah di kota ini" pinta ibuku via telfon waktu itu.
"Baiklah, jika itu mau ibu, aku akan masuk kedokteran." ancamku dan berharap ibu akan berpikir kembali dan mengizinkanku kuliah diluar kota.
"Akan ibu dan ayah sanggupi."

Entah mereka ingat atau tidak kenapa aku memilih jurusan kedokteran.
Kata mereka inilah cita-citaku sedari kecil. Tapi kalian tahu kan, semakin besar seorang anak, cita-citanya akan terus berubah. Semasa SMA, aku sangat tertarik yang namanya hitung-menghitung, dan aku pikir aku cocok di bagian teknik karena aku pikir jurusan tersebut ilmu itu akan terpakai dan bermanfaat.
Kembali lagi ke ancamanku saat itu. Aku masih belum memutuskan pilihan apa yang akan aku ambil.

Pada saat pengisian formulir jalur undangan, aku menulis pilihan pertamaku pada universitas luar dan kedokteran menjadi pilihan keduaku. tapi ternyata aku tidak lulus.
Aku menangis pilu dan down seketika.
"Masih ada jalur lain, kamu bisa nak" Ibu berkata dan aku melihat matanya memerah memandangku.

Keesokan harinya, jalur ujian tertulis dibuka. Aku langsung mendaftar jurusan kedokteran atas saran ibu. Karena ibu rasa aku sudah kalah taruhan. Ya sudah aku mendaftar jurusan FK dan FKG. Terserah yang mana saja yang masuk.

Pada saat ujian, aku tidak terlalu serius mengisi jawaban. Karena aku pikir lebih baik menjadi seorang dokter gigi karena bisa lebih banyak di rumah nantinya. Dan berakhirlah aku lulus di pilihan keduaku.
Tapi kenyataan berkata lain, perjalanan tak semulus jalan tol. Banyak kerikil dan lubang disana.
Tapi tak terasa aku sudah berjalan cukup jauh, dan garis finish sepertinya sudah terlihat. Tapi harus melewati lubang yang sangat besar. Hampir tidak bisa dilewati. Harus mencari penghubung ke seberang sana. Mungkin tahun depan dapat aku lewati.

Begitulah ceritaku.
Menyesal atau tidak, aku tetap bersyukur.

Selasa, 19 November 2019

Catatan Kecil Anak Ke Dua : Kembalinya Ia

Pagi itu, aku mau bersiap pergi ke rumah sakit tempat aku menempuh program profesi
Sekitar jam 8 pagi, dia kembali mengejutkanku dengan pesan singkatnya.
Dia sudah dijalan untuk mengunjungiku.
Aku sudah menduga, kejadian buruk kembali menimpanya.

Aku batalkan rencanaku hari itu, cukup absen hadir saja disana.
Setelah dia sampai di kota tempat aku menempuh pendidikan, aku mengirimnya taksi online untuk sampai ke rumahku.
Setibanya mobil itu di depan rumah, aku menjemputnya penuh duka. Aku tahu dia kembali padaku karena suatu masalahnya lagi.
Bersama dua bocah kecilnya, dia turun dengan senyum terpaksa.
Aku merengkuhnya ke pelukan, mengajaknya masuk ke rumah.
Aku biarkan dia beristirahat, tanpa bertanya, tanpa memaksa.
Menunggu dia siap untuk bercerita.

Entah mulai darimana dia mulai bercerita penuh dengan air mata,
Mengutarakan kepiluan batinnya tentang pengalaman hidup barunya.
Seakan lupa dengan bahagianya ia dahulu, ia ingin kembali, tidak mau melanjutkan kehidupan keras itu.

Siangnya, aku mendapat telfon orang tuaku, memberi kabar bahwa ia lari dari masalah lain.
Masalah itu tidak berbeda dari masalah dia kala itu.
Tanpa aku tanya, hanya sepatah kata tentang "itu"
Dia kembali menangis
Meraung pilu
Mengungkapkan luka
Meremas dada siapapun yang mendengarnya

Dia tidak ingin kembali
Dia ingin menetap bersamaku
Dia melarikan diri lagi
Dia sungguh tidak ingin kembali

Tapi ayahku berkata
"Aku ayahmu, aku yang akan melindungmu. Pulanglah, jika kau masih mengganggap aku ayahmu"

Tak sampai hati, aku mendengar ayah memintanya pulang.
Ayahku yang baru setahun pensiun, memiliki banyak pikiran tentang segala macam masalah anak-anaknya. Seharusnya di masanya dia menikmati kedamaian batinnya. Tapi itulah ayah. Seorang pelindung keluarga.

"Aku tidak mau pulang ayah. Jika aku pulang dan melihatnya, aku akan luluh kembali. Aku tak bisa menolak jika ia meminta kembali" jawabnya sambil terisak.

"Ayah sudah menyuruhnya pergi darimu. Tenanglah. Pulanglah. Ayah akan melindungimu."
Aku tidak kuasa menahan kepiluan itu. Aku menangis bersama.
Sementara dua bocah kecil, si kakak yang berusia 6 tahun, sudah cukup mengerti tentang kehidupan mereka. Bocah kecil 6 tahun itu pula berkata padaku "Aku tidak ingin pulang. Aku juga ingin menjauh darinya."

Bayangkan saja, apa yang terjadi.
Ia tetap tutup mulut, tidak mau bercerita tentang kenapa si kakak sampai berkata seperti itu.
Aku peluk tubuh kecil bocah itu. Kami menangis bersama siang itu.

Hingga malam menjemput,
mobil travel suruhan orang tuaku datang.
Menjemput mereka pulang.

Kudekap tubuh dia,
kutepuk pundaknya dengan bermakna.
Tanpa berkata apa-apa.
Karena kata penenang baginya, sudah tidak lagi berguna.

Mereka memasuki mobil, dan mobil pun menembus malam.

"Ibu, mereka sudah menuju ke rumah. Tolong jangan tanya apa-apa padanya. Tunggulah ia bercerita." Pesanku pada ibu di telfon karena aku tahu ibu akan bertanya macam-macam padanya ketika ia sampai nanti.

Ibu kembali mengabariku bahwa mereka sudah sampai di rumah orang tuaku.
Seperti ibu biasanya. Ia sudah menyiapkan air hangat untuk mandi agar ia dapat merilekskan tubuh dan pikirannya. Ibu meyakinkanku, ibu tidak bertanya duluan padanya. Dan menyuruhku kembali fokus pada pendidikanku karena besok aku akan menempuh ujian bagian.

Beberapa minggu dari kejadian itu, aku pulang.
Kudengar ia kembali membuka usaha kecil-kecilannya. Dan sepertinya cukup lancar.
Dia kembali tersenyum dan tertawa bersama kami.

Cukuplah sampai disini deritanya ya Allah
Berilah keluarga kami kebahagiaan
Dan terimakasih telah memberi kami orang tua yang sangat menyayangi kami
Orang tua yang menerima kami dan semua kesalahan kami

Senin, 19 Agustus 2019

Catatan Kecil Anak kedua : tentang si bungsu

Dia satu-satunya anak laki-laki.
Si bungsu yang bersifat bungsu
Yang minggu ini akan diwisuda
Wisuda ketika orang tua kami sedang ibadah haji

Ditinggal beberapa minggu, ternyata menjadikan rumah itu bak bencana
Si dia yang menjaga rumah tetapi dalam konteks menjaga saja
Si bungsu yang diberi tanggungjawab mengelola keuangan.
Dari jaman membuat cerita, aku selalu bercerita tentang si dia, yang membuat keputusan sepihak untuk menjalani kehidupannya tapi tidak mampu lepas dari orang tua.
Pada saat seperti ini, si bungsu yang ego nya belum stabil dan si dia yang punya ego anak pertama, membuat aku bingung bagaimana aku seharusnya.
Ketika aku katakan jangan bicara kasar dan tidak menghargai yang lebih tua, dia marah besar karena menurutnya dia benar. Hingga kini ia hilang kabar.
Aku sedih bukan main.
Kasihan melihat si dia, dan menyesal bertengkar dengan si bungsu. Padahal aku seharusnya tidak ikut campur.
Tidak pernah seperti ini sebelumnya. Paling pertengkaran kecil biasa.
Aku mencoba hubungi, tapi tak ada jawaban.
Padahal dia online beberapa menit yang lalu.
Aku benar benar sadar, dia memiliki karakter yang sangat keras.
Dia benar benar tidak aku kenali.

Apakah dia kepada temannya seperti itu?
Aku rindu kenakalan kecil masa sebelum dewasa

Catatan Kecil Anak Ke 2 (6)

Diketika pada beberapa minggu yang lalu, ternyata belum sempat di post

Ini ceritaku
Tentang si anak ke dua yang selalu menceritakan dia, si anak pertama
Kami tumbuh bersama, bermain bersama, belajar ngaji bersama
Dia selalu jadi favoritku dari dulu
Pujaan yang berharga
Hingga kini pun ku sayang

Kemarin, adalah hari keberangkatan orang tua kami menuju mekkah madinah
Menunaikan ibadah haji
Adalah acara keluarga untuk mengantar mereka yang kami sayang yang akan pergi selama 40 hari
Cukup lama tapi tak lama

Dari acara itu
Dia yang tertua di rumah
Mengorganisir semua acara
Dan aku tetap hanya sebagai pengamat disana
Melihat dia memasak sambil bercerita bersama
Dia semakin dewasa ternyata
Tak hanya menjadi ibu yang keibuan
Dia juga cukup menjadi pendengar yang baik seperti dahulu
Masakan dia semakin enak
Aku semakin kalah dari dia
Semakin aku bangga dan merindu masa dulu akannya
Semakin aku jemu dengan keadaan yang sekarang

Dari acara itu
Aku bisa tahu
Cintanya pada kami tetap sama
Tapi memang berbeda untuk keluarga kecilnya
Terlihat dari matanya yang tak bisa luput dari anak-anaknya
Si besar dan si kecil
Pada kami, mungkin kenangan masa lalu yang selalu terbayang
Dan membuat cintanya bertahan hingga kini
Tapi untuk keluarganya,
Ada masa depan yang dia harapkan
Ada doa harapan dan pengorbanan di dalamnya
Ada cinta yang meluap yang berapi-api
Yang tak mungkin kami masuk ke dalamnya

Dia
Si anak pertama
Yang selalu menjadi idolaku
Aku selalu ingat pada saat wawancara SMA
Siapa idolamu?
"Kakakku" jawabku
Aku selalu membicarakan dia
Selalu menjawab begitu entah mengapa
Banyak memang artis, atlet, atau tokoh-tokoh yang dapat menjadi panutan
Tapi selalu aku jawab "kakakku"
Kenapa?
Dia selalu mengalah
Dia tak pernah egois
Dia penyayang
Dia tahu siapa dia
Dia tahu apa yang dia mau
Meskipun itu terjal, dia hadapi
Contohnya dia di masa kini

Aku menyukainya
Aku merindukan kabarnya
Cinta diantara saudara tak pernah pudar walaupun selalu ada selisih paham
Itu wajar
Darah yang mengalir di antara kami
Membuktikan bahwa kami bersaudara
Entah kami akan dijauhkan jarak dan waktu
DNA kami akan tetap merindu

Kamis, 04 Juli 2019

Kim Soo Hyun Discharge Millitary

Horaayyyy...
Bang Soo Hyun
Yang menjadi salah satu alasan blog ini dibuat adalah doi hahahaa

Welcome back oppa
Ku masih setiaaaa

Selasa, 12 Februari 2019

Catatan Kecil Anak Ke2 (5)

Apa kabar kak? 
Sekarang sudah bulan Februari 2019.
Makin terasa Quarter Life Crisis nya kak.
Aku disini semakin bingung antara pencapaian ini,
apakah ini jalan yang aku mau?
Semakin lama, kita semakin tua
Hidup semakin realistis
Tapi masalah cinta masih kabur bagiku kak

Jika aku bercerita seperti ini
Kadang imajinasiku membentuk sosokmu dan suaramu terdengar di telingaku
Bukan berarti aku gila
Tapi aku mungkin terlalu merindu
Atau bisa jadi aku kesepian
Tak ada teman yang cukup dipercaya

Usia bertambah, pertemanan berjuta
Tapi berbanding terbalik dengan yang dipercaya
Satu dua orang cukup bagiku
Tapi tak ada yang sepertimu kak

Balik lagi ke judul cerita.
Posisiku sebagai anak kedua makin lama makin kelewatan
Jarang di rumah, masih menyusahkan orang tua, tak ada yang bisa aku kerjakan di rumah
Tapi aku beruntung memiliki adik laki-laki yang dapat mengimbangiku
Dia cukup mandiri
Jika aku butuh sesuatu, tanpa pikir panjang dia turuti keinginanku
Apalagi jika makanan yang aku inginkan
Jika harus dimasak, dia akan memasak untukku
Selain itu, dia cukup agamis
Shalat nya kini tidak pernah bolong
Kalo sempat shalat di masjid, dia kesana
Mungkin memang waktunya dia dewasa
Atau memang dia lebih dewasa daripada aku?
Kadang aku berharap dia lebih tua dariku

Selasa, 17 Oktober 2017

Catatan kecil anak ke dua (3)

Sedikit cerita tentang kejadian itu.
Hebohnya persiapan kondangan saat itu ternyata tidak menutup kepiluan ini.
Dia temanku, tidak dekat memang. Tapi teman seangkatan lebih dari 5 tahun.
Lamanya pertemanan memang tidak menjamin persahabatan.
Hanya saja, melihat pesta itu sedikit membuatku terusik dan tersenyum kecut.
Aku teringat dia, si anak pertama.
Mungkin ini yg dirasakan orang tuaku saat mendatangi pesta pernikahan anak temannya. Sedikit pilu memang.
Terbersit mengapa pernikahan dia tidak seperti ini, mengapa dia memilih jalan itu, mengapa semua tidak terjadi sesuai rencana.
Memang semua sudah diatur yg maha kuasa. Tapi setidaknya usaha harus dilakukan.
Aku bisa saja meninggalkan semua ini, seperti dia.
Tapi tidak.
Orang tua ku tetap menjadi priotitas utama saat ini.
Melihat seorang teman yg bahagia, cukup membuatku tersenyum tapi tetap terbersit celah itu.
Diaebelahnya ada adiknya yg berlinang air mata. Aku cukup tahu rasa itu. Seolah2 aku kembali pada masa itu. Tapi tetap dia lebih beruntung karena dia memiliki seorang kk dan ipar yg cukup bertanggung jawab.